Senin, 28 Mei 2012

Arsitektur Muslim yang Nusantara


 
Islamkah Arab dan Arabkah Islam? Kenyataan Indonesia: arsitektur yang “sehari-hari” berubah menjadi Barat —atas nama Globalisme. Yang “peribadatan”, khususnya di kalangan muslim, berubah menjadi Arab —atas nama Islam. Belum lagi di kalangan pemeluk agama lain. Lalu, di mana ciri ke-Indonesia-an kita? Apa Arsitektur Muslim Nusantara?
Mari kita rumuskan pengertiannya. Yang dimaksud dengan “Arsitektur Muslim” adalah arsitektur yang berkaitan terutama dengan kegiatan peribadatan formal masyarakat pemeluk agama Islam. Bukan semata-mata yang dibangun oleh muslim. Tentang hal ini ini, ada pengalaman yang menarik untuk saya pribadi. Pada suatu presentasi tentang masjid kuno sebagai warisan arsitektur masa lalu di Bandung tahun 2009, seorang hadirin tiba-tiba menginterupsi saya. Pertanyaannya: “Mana yang benar menurut bapak, masjid dengan kubah atau masjid dengan atap tumpang?” Jawaban saya tidak ilmiah: “Keduanya benar”. Saya menuntaskan penjelasan saya sebagai berikut. Yang kubah berasal dari pen-tiga-dimensi-an kaligrafi alif-lam-lam-ha pembentuk kata “Allah”, sedangkan yang tumpang berasal dari kaligrafi alif-lam (tasdid)-mim pada Al Qur’an, Surat Al Baqarah Ayat 1. Jadi, semua benar. “Yang tidak benar ialah takmir (pengurus masjid) yang tidak sholat”, canda saya. Penanya puas, hadirin tertawa. Saya pun bersyukur, karena tanpa sengaja telah menggusur dialektisme “kubah-tumpang”. Bagi saya, itu penting, karena dialektika “kubah-tumpang” dapat memperlebar jurang praksis peribadatan di  antara dua organisasi-keagamaan Islam besar di Indonesia. Begitulah, dalam satu kalangan pemeluk agama pun bisa terjadi kericuhan pandangan yang mengakibatkan perpecahan, apalagi antaragama. Sedangkan Indonesia kini, sangat perlu memelihara persatuan bangsa. Arsitektur ialah bagian dari politik kebudayaan, bukan hanya karya individual saja.

Dalam Buku “Arsitektur untuk Kemanusiaan” (2008), saya menegaskan pentingnya lokalitas dalam arsitektur bangunan peribadatan: “Ketepatan dalam tiap jengkal sumbu vertikal-horizontal dalam proses-menerus menemu-kenali diri itu akan mendudukan Arsitektur Nusantara sebagai persawahan arsitektur lokal, nasional, regional dan sekaligus mondial dengan tepat dan pasti ―tanpa kecanggungan apa pun untuk menumbuh-kembangkan rerumpunan padi kebudayaan dan bulir-bulir peradaban.
Kita akan menyaksikan bukan hanya peradaban arsitektur profan yang Nusantara. Tetapi juga arsitektur kelenteng-kelenteng yang Nusantara dan bukan kelenteng-kelenteng Fujian atau Guangdong; bukan vihara-vihara Chiangmai atau Yangoon tetapi vihara-vihara yang Nusantara; bukan candi-candi Orissa atau Angkor tetapi candi-candi yang Nusantara; bukan pura Bali atau Lombok Barat saja, tapi pura yang Nusantara. Gereja-gereja dan kapel-kapel yang Nusantara dan bukan yang Eropa Timur atau Barat; masjid-masjid dan mushola-mushola yang Nusantara dan bukan Arab, bukan Turki, bukan Iran dan bukan pula yang India Moghul. Peradaban yang Nusantara”.


Demikian, maka manfaat mengkaji Arsitektur Muslim di Nusantara ada dua. Pertama, konsepsi lokalitas Nusantara pada praksis arsitektur fasilitas peibadatan di kalangan muslim akan memperkuat konsep Arsitektur Nusantara. Kedua, dengan konsep lokalitas yang dikembangkan bersama oleh kalangan muslim yang merupakan populasi terbesar di Indonesia, terbentang peluang yang sangat besar untuk tidak memperuncing perbedaan-perbedaan yang mengarah pada perpecahan bangsa.





Di Kota Gede seperti di situs masjid kuno lain di Jawa, masjid tak pernah berdiri sebagai bangunan tunggal. Lalu, istilah yang tepat "Muslim" atau "Islam"? Apa beda mendasar dari pemakaian dua istilah itu? Mana yang lebih tepat digunakan? Apa konsekuensi dari tiap penggunaan istilah itu? Para islamolog ahli sejarah seni dan arsitektur marak membicarakan hal itu tigapuluh tahun yang lalu. Memakai istilah muslim, biasanya langsung mencenderungkan interpretasi pada paradigma sosio-geografis. Secara harafiah, muslim memang menunjuk pada seseorang atau sekelompok orang pemeluk agama Islam di suatu tempat-waktu tertentu, sedangkan Islam, lebih condong berkonotasi pada nilai-nilai atau esensi dari agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Hubungan makna antara muslim dan Islam boleh ditamsilkan antara kerangka dan isi. Lalu, apakah sebagian wujud fisik arsitektural dari Masjidil Haram —satu-satunya masjid di bumi yang mengelilingi titik kiblat ini— dipengaruhi oleh lokalitasnya di Jazirah Arab?

Sudah barang tentu wujud fisik itu membawa karakter lokal yang ada pada lingkungan alam dan manusia di Jazirah Arab. Jika demikian keadaan georafis dan sosialnya, maka sebenarnya universalitas Ka'bah —seperti halnya bangunan lain di belahan bumi manapun— terwujudkan lewat suatu karakter lokalitas. Apakah setiap muncul karakter sangat khas di suatu daerah, kita mesti menghubungkannya dengan seluruh "mainstream" langgam yang ada? Tidak harus. Ada konsep genius loci. Ada pula teori tacit knowledge yaitu kecerdikan fitriyah dalam arsitektur (Pangarsa, 2006. Merah-Putih Arsitektur Nusantara). Namun tak demikian halnya dengan tradisi pemikiran konvensional para sejarahwan. Claude Guillot, seorang peneliti sejarah Prancis menghubung-hubungkan ciri khas arsitektural masjid Jawa dengan Cina. De Graaf, nama besar dalam kajian sejarah Indonesia khususnya Jawa, memperkaitkan masjid Jawa dengan arsitektur India. Bahkan ada yang menarik dugaaannya bahwa masjid Jawa berasal dari wantilan Bali. Semua boleh saja. Tetapi apa tujuan politik (kebudayaan) penjelasannya?
Sumber : www.4archiculture.net

Tanpa Kubah dan Minaret, bukan Masjid?

Apakah masjid zaman Nabi Muhammad s.a.w. memakai kubah dan minaret? Pada saat ini keduanya telah menjadi “simbol keislaman yang sudah disepakati” oleh seluruh umat muslim dunia. Ternyata, pada jaman Nabi Muhammad saw, kedua elemen arsitektural masjid itu tak dipakai. Lalu harus bagaimana Arsitektur Muslim Nusantara?

Masjid Pujut di Lombok: saksi perjalanan sosio-historis praksis agama Islam di Lombok. Kekurangannya tak harus dimengerti sebagai “catatan rapor merah”. Tetapi mesti diambil untuk meraih masa depan yang lebih baik. Dengan sikap it, kajian tentang arsitektur muslim terbuka lebar bagi siapa saja, menurut saya. Tetapi perlu dicatat, bahwa sebagian "islamolog" untuk bidang arsitektur, mengawali kajian mereka dari Qubatush-Shakhra atau The Dome of Rock. Bahkan sekaliber Profesor Sejarah Seni di Harvard, Oleg Grabar misalnya, tidak mengawali kajiannya dari Ka'bah, tapi dari Qubatush-Sakhra. Dalam karya analitiknya “The Formation of the Islamic Art” (1985) yang dipandang monumental dari tinjauan sejarah seni, pun berangkat dari The Dome of Rock —mengikuti para islamolog klasik seperti George Marçais, Otto-Dorn, dll. Apakah ada yang memulai kajiannya dari Ka'bah?

Hanya sangat sedikit ilmuwan yang memulainya dari Ka’bah. Salah satunya adalah Abubakar Atjeh dengan karya yang monumental pula jika dilihat dari sejarah peradaban muslim di Indonesia, yaitu “Sejarah Mesdjid” (1955). Beliau melandaskan kajiannya pada riwayat Nabi saw: “Tidak sebuah masjidpun boleh dijadikan tujuan perlawatan untuk diziarahi kecuali tiga buah masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjidil Aqsha dan masjidku ini (Masjid Nabawi)” [Hadits Mutaffaq ‘alaih], dan karena itu ia memulai kajiannya dari Masjidil Haram. Ziarah, tentu saja dapat bermakna luas dan dalam. Bisa hanya bermakna ziarah secara fisik saja, tetapi juga bisa ziarah intelektual dan spiritual. Apakah seluruh perbedaan selalu harus dilihat sebagai pertentangan? Di antara, di dalam, dan sekaligus di keduanya ada monisme-esensial yang melingkupinya sebagai sebuah pasangan, bukan sebuah pertentangan.






Yang kajiannya berangkat dari Qubatush-Shakhra, berarti lebih menyenderungkan jalan pikirannya pada pola pandang induktif; yang berpangkal dari Ka’bah, mau tak mau akan terlihat mendekati fenomena arsitektural secara deduktif. Persoalan yang lebih mendasar: apakah keduanya menemukan pemahaman-induktif dan pengertian-deduktif yang terpadu? Pemahaman, yang lebih cenderung bersifat induktif bekerja di dataran keluasan pengetahuan intelektual dan sudah semestinya, dipersinambungkan ke arah kedalaman perenungan-kontemplatif-spiritual. Sedangkan pengertian, yang mekanismenya lebih bersifat deduktif, sebetulnya bekerja di ranah kedalaman kesadaran spiritual yang pasti memerlukan transformasi di jalur intelektual. Pengertian dari kedalaman intuitif itu tak akan dapat diterapkan tanpa kesinambungan dengan keluasan intelektual. Sebaliknya, pemahaman dari keluasan intelektual tak akan punya arah yang benar tanpa kesinambungan dengan kedalaman spiritual.

Kajian ini tidak bermaksud mensintetis kedua pandangan tersebut, karena jelajah keilmuannya menjadi terlalu luas dan dalam. Adapun maksud dengan ”terpaksa” menyinggungnya, adalah karena tanpa penjelasan itu, akan terjadi perdebatan yang sebenarnya tidak perlu —dan tidak bermanfaat. Kajian Arsitektur Muslim Nusantara ini sekedar memberi perspektif perkembangan ilmu dan praksisnya bagi kita di kemudian hari, dan mengimbau menuju ke arah keterpaduan yang saya maksud di atas. Oleh sebab umat manusia di jaman ini praktis didominasi pandangan empirik saja, maka tidak bisa tidak, persoalan aktual jaman ini sesungguhnya adalah untuk “menghijrahkan” pandangan empirik itu, secara bertahap. Itulah simbolik dari “Hijrah dari The Dome of Rock menuju Ka’bah”. Dengan kata lain, mengajak cara berpikir empirik-materialistik untuk menemukan hikmah pelajaran di balik yang kasat mata, melakukan ziarah intelektual dan spiritual sekaligus.

Hanya dengan demikian, kesalah-pahaman dapat diperbaiki. Misalnya, mengkategorikan lukisan dinding bermuatan figur wanita telanjang pada kamar mandi di kompleks istana Qusayr Amra di Jordania (abad VIII) sebagai bagian dari “seni islam(i)” (Bernus-Taylor, 1988). Atau memasukan mimbar Majid Bayan Bele’ yang berhiaskan naga sebagai bagian dari “ciri keislaman masjid” tersebut. Yang dikerjakan suatu masyarakat muslim belum tentu bernilai keislaman. Yang “diejawantahkan dari Islam” belum tentu sesuai dengan ruang-waktu masyarakatnya. Bisa jadi, pada suatu periode suatu karya arsitektur dapat diterima masyarakatnya, tapi pada periode lain, mulai dipertanyakan kembali. Begitu pula pada suatu daerah dapat diterima, tetapi pada daerah lain lebih sulit diterapkan.

Terakhir, perlu pula dicermati masalah identitas. Manusia secara individual maupun komunal pasti memerlukan identitas. Demikian pula dengan masyarakat muslim mondial. Pada saat ini kubah dan minaret menjadi “simbol arsitektural bernilai keislaman” yang seolah-olah “sudah disepakati bersama” oleh seluruh umat muslim dunia. Tetapi bagi yang memandang kritis seperti Prof. Mohammad Tajuddin Noor dari Malaysa, tentu tak salah bila merunut historisitas kedua simbol sosio-arsitektural itu. Jika ditelisik akan jelaslah, pada jaman Nabi Muhammad saw, kedua elemen arsitektural masjid itu tak dipakai. Jadi bagaimana mensikapinya? Bagaimana pula jika minaret persis bersebelahan dengan bentuk menjulang-tinggi atap gereja Kolonial Belanda seperti di Alun-alun Kota Malang? Tentu —seyogyanya— keduanya bisa hadir bersama dalam kota dengan damai.

Bila mau merenungi, arsitek adalah profesi yang cukup sulit, seperti halnya profesi lain. Apapun itu. Sebagai “pelayan” masyarakat ia harus mengikuti aspirasi pelanggannya. Tetapi jika kebablasan, ia akan menjadi “budak” bagi siapa saja yang sanggup memberinya honor tinggi. Dalam hal demikian, ia akan makin jauh dari fungsinya selaku “khalifah”. Sebagaimana siapapun dalam profesi apapun, seseorang sesungguhnya dituntut andil-bertanggungjawab atas arah perkembangan masyarakatnya. Apa andilnya? Menurut kemampuan si arsitek dan daya terima pelanggannya, seorang arsitek mestinya sedikit-banyak berperan pula sebagai budayawan. Bukan dalam arti berteori tinggi, tetapi dalam terpanggil andil untuk ikut bertanggung-jawab terhadap perkembangan mentalitas bangsanya.

Dengan demikian, arsitektur disikapi sebagai sebuah proses yang memang diakhiri secara terbuka (open ending, bukan hanya open ended). Disikapi dan memang selalu siap untuk berubah. Meskipun demikian, selalu ada pula yang dipandang berketetapan, atau konstan. Rasa kemanusiaan: bukankah itu salah satu yang mesti dipandang konstan atau harus dimuat oleh karya arsitektur? Keselaras-serasian dengan lingkungan alam: tidakkah juga patut dipandang sebagai konstanta? Mengapa pengajaran desain arsitektur selalu menganggap akan menghasilkan desain yang final? Yang disainnya "dilarang" berubah? Itu bagai Qubatush Sakhra atau The Dome of Rock yang diposisikan sebagai monumen mati. Ia dipeti-eskan. Begitukah “seharusnya” sebuah desain dan sebuah pelestarian?




Sekali lagi, sebagai bahan renungan, ialah Ka’bah. Dari waktu ke waktu, sejak jaman Nabi Ibrahim as, Ka’bah selalu disesuaikan dengan kebutuhan dasar masyarakat muslim berhaji. Tetapi ada yang tak berubah, yaitu pondasinya. Pertanyaannya: tepatkah perubahan-perubahan yang dilakukan di jaman sekarang? Sekarang, Ka’bah bagai dikepung bangunan-bangunan raksasa yang terus ditambahkan disekelilingnya. Seolah mengingatkan kita pada peristiwa dikepungnya penduduk di sekitar Ka’bah oleh pasukan gajah Raja Abrahah…


Sumber : www.4archiculture.net